Konsistensi dan koreksi regulasi yang terkait dengan pembangunan permukiman rakyat, antara pusat dan daerah harus sinkron. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pengusaha building material bangunan wajib memiliki persepi yang sama tentang pembangunan perumahan rakyat berkelanjutan.
Oleh: Wawan Kuswandi
Menjamurnya pengembang properti di Indonesia, khususnya di wilayah Jabodetabek merupakan dampak nyata, atas meningkatkan kebutuhan masyarakat terhadap rumah dari tahun ke tahun.
Namun, dalam kenyataannya pemerintah belum mampu memenuhi backlog perumahan rakyat yang mencapai sekitar 9,9 juta. Selain itu, rumah yang memenuhi standar layak huni, masih menjadi pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan Pemerintah bila ingin menuju Indonesia Emas Tahun 2045.
Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, diuraikan bahwa rumah layak huni dan terjangkau rakyat harus memenuhi beberapa syarat diantaranya keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan serta lingkungan yang sehat.
Keberadaan UU diatas menjadi kendala sekaligus dilema bagi sejumlah pengembang, karena pembangunan rumah layak huni membutuhkan biaya tinggi. Ini terjadi akibat terus naiknya harga bahan material bangunan, mahalnya biaya pembelian dan pembebasan lahan di seputar Jabodetabek serta prosedur perizinan yang memerlukan biaya besar.
Kendala Perumahan Rakyat
Untuk eksekusi UU diatas pengembang dipastikan mengalami kendala, terutama ketika menetapkan harga rumah layak huni, karena hal itu berhubungan langsung dengan biaya yang dikeluarkan saat proses pembangunan rumah atau mengembangkan kawasan perumahan baru.
Akibatnya, masyarakat kelas bawah dan menengah tetap akan sulit memiliki rumah layak huni karena faktor harga yang relative masih tinggi. Di sisi lain, sejumlah pengembang juga sulit memasarkan harga rumah yang tinggi, apalagi kalau harus mengikuti kemampuan rata-rata finansial MBR yang membutuhkan rumah.
Keterjangkauan harga rumah layak huni bagi konsumen sangat penting. Di sisi lain, pengembang menargetkan pemasaran rumah harus terserap di pasar properti.
Sementara itu dari sisi pemerintah, Kementerian PUPR yang membidangi perumahan rakyat juga menghadapi kendala berat, karena mempunyai target membangun kawasan permukiman rakyat berkelanjutan menuju Indonesia Emas tahun 2045, sekaligus mengatasi backlog rumah nasional.
Beberapa kendala yang dihadapi pemerintah dalam proses pembangunan permukiman rakyat berkelanjutan, diantaranya ialah mahalnya biaya pembangunan infrastruktur permukiman. Kemudian pengembangan kawasan perumahan yang ramah lingkungan, menciptakan sinergitas antara penghuni baru perumahan dengan masyarakat sekitarnya dan lingkungan hidup.
Apabila sejumlah kendala diatas dapat diselesaikan dengan baik oleh pemerintah dan pihak pengembang, maka proses pembangunan perumahan rakyat berkelanjutan dipastikan akan berjalan sesuai rencana.

Regulasi Perumahan Rakyat
Agar pengembang perumahan dapat berperan aktif dalam dalam proses pembangunan permukiman rakyat berkelanjutan, maka semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, pengembang properti dan pengusaha building material bangunan wajib berkolaborasi dan melakukan langkah-langkah transformatif dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah rakyat.
Konsistensi dan koreksi regulasi yang terkait dengan pembangunan permukiman rakyat, antara pusat dan daerah harus sinkron. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pengusaha building material bangunan wajib memiliki persepi yang sama tentang pembangunan perumahan rakyat berkelanjutan.
Untuk mewujudkan pembangunan perumahan rakyat berkelanjutan, diperlukan tiga syarat penting yaitu kesiapan pendanaan pengembang, regulasi yang berpihak pada rakyat dan kemampuan finansial masyarakat dalam membeli rumah melalui proses KPR Perbankan.
Penulis Pemerhati Komunikasi Massa