Saat ini, kebijakan rumah subsidi pemerintah semakin amburadul. Rencana pengecilan ukuran rumah subsidi, pada akhirnya membuat rakyat miskin dan MBR dipaksa untuk hidup dalam ‘kotak sabun’ di perkotaan.
Oleh: Gusti Maheswara
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), berencana akan mengurangi luas minimum bangunan rumah subsidi menjadi 18 meter persegi dan luas tanah menjadi 25 meter persegi.
Alasan utama pemerintah, terkait usulan tersebut ialah untuk memperluas akses hunian layak dan terjangkau bagi rakyat miskin dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di perkotaan.
Selain itu, pemerintah juga menyebut untuk mengatasi tingginya backlog kepemilikan rumah nasional yang sudah mencapai angka 9,9 juta unit, dengan 80 persennya berada di perkotaan.
Semestinya, sebelum mewacanakan ‘pengerdilan’ rumah subsidi, Pemerintah harus tahu betul definisi rumah layak huni, di antaranya ukuran ideal luas dan lahan bangunan yang sehat berdasarkan standar nasional maupun internasional.
Kemudian, pentingnya keberadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam lingkungan, kesiapan infrastruktur kawasan, budaya dan gaya hidup serta kearifan lokal antarmasyarakat yang berbeda-beda, mulai dari suku, agama, ras dan golongan.
Ada satu hal lagi yang juga penting, tingkat status sosial ekonomi rata-rata masyarakat Indonesia yang bisa mencerminkan keadaan ekonomi rakyat, yaitu mereka termasuk dalam golongan orang-orang kaya atau dari kelompok masyarakat miskin.
Saat ini, kebijakan rumah subsidi pemerintah semakin amburadul. Rencana pengecilan rumah subsidi, pada akhirnya membuat rakyat miskin dan MBR dipaksa untuk hidup dalam “Kotak Sabun” di daerah perkotaan.

Sebelum wacana ukuran rumah subsidi diperkecil muncul di publik, sebenarnya sudah banyak dilaporkan masyarakat tentang kualitas bangunan rumah subsidi yang berada di bawah standar dan tidak layak huni. Bahkan, kebutuhan penting seperti air bersih dan aliran listrik, sebagian besar juga tidak memadai.
Kasus Rumah Subsidi
Namun sayangnya, hal itu luput dari perhatian para stake holder perumahan nasional. Kasus-kasus rumah subsidi yang tidak tepat sasaran serta terlantar karena tidak dihuni, juga terlewat dari perhatian, pengawasan serta penindakan hukum oleh pemerintah.
Berdasarkan fakta dan data di atas, maka wajar saja bila usulan Kementerian PKP untuk memperkecil ukuran rumah subsidi, ditolak tegas oleh Satgas Perumahan, masyarakat dan sejumlah pengamat properti.
Rumah subsidi dengan ukuran kecil yang tidak sesuai standar, justru akan merusak kenyamanan dan kesehatan penghuni untuk selamanya. Bila usulan ukuran rumah subsidi diperkecil ini berjalan, maka akan banyak menimbulkan masalah bagi penghuninya, sejak rumah itu mulai ditempati hingga masa depan anak cucu mereka. Ukuran rumah subsidi 18 meter sangat bertentangan dengan prinsip dasar hunian yang layak.

Sejak awal, Presiden Prabowo Subianto sudah menegaskan, agar rakyat hidup di rumah yang layak huni. Untuk itu, pemerintah membuat program kerja dengan membangun perumahan rakyat yang lebih baik, layak huni sesuai standar bangunan, bukan rumah kecil yang sumpek, sempit dan tidak sehat.
Ukuran rumah 36 meter persegi adalah batas minimum rumah sehat sesuai standar nasional (SNI) dan juga telah dirujuk dalam diskusi dengan World Bank dan WHO, beberapa tahun silam.
Dalam konteks global, rumah dengan luas 40 meter persegi dinilai telah memenuhi standar minimum untuk menjamin kesehatan dan kenyamanan penghuninya.
Penulis Pengamat Properti
Simak dan ikuti terus perkembangan berita dan informasi seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.