Adanya pungutan liar alias pungli membuat biaya proses pengurusan menuju PBG jadi semakin mahal. Pungli memperlambat proses dan menambah beban biaya PBG semakin tinggi.
KoranProperti.com (Jakarta) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, baru-baru ini menyatakan bahwa retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) akan segera dihapus, khusus bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Hal itu disampaikan Tito dalam gelaran diskusi bertema ‘Program 3 Juta Rumah Gotong Royong, Membangun Rumah untuk Rakyat’ di Menara 1 BTN, Jakarta, Jumat lalu (8/11/2024).
“Saya akan keluarkan surat edaran paling lama 10 hari agar retribusi PBG dihapus, khusus untuk MBR. Saya akan mengundang seluruh Pemda, BTN, dan rekan-rekan perwakilan realestat bahwa program perumahan MBR ini telah diperintahkan Pak Presiden dan harus dilaksanakan Menteri PKP. Kita minta Pemda membangun gerakan kesetiakawanan sosial untuk membantu yang tidak mampu,” tutur Tito seperti dikutip dari siaran pers yang diterima koranproperti.com, Sabtu (9/11/2024).
Menanggapi pernyataan Tito, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Junaidi Abdillah memberi komentar nyeleneh. Menurut Junaidi, penghapusan retribusi PBG sebenarnya tidak signifikan terhadap biaya pembangunan rumah.
“Tujuannya sih baik, penghapusan retribusi PBG ini untuk meringankan dan membantu mengurangi biaya membangun rumah. Namun langkah ini tidak berpengaruh besar terhadap harga rumah,” tandas Junaidi.
Lebih tegas lagi Junaidi memaparkan, retribusi PBG itu kecil, rata-rata besaran maksimalnya hanya sekitar Rp1 jutaan. Justru yang mahal adalah proses sebelum mengajukan PBG. Inilah yang jadi masalah bagi MBR.
“Masalah utamanya ialah ketika proses menuju PBG yang melibatkan Pemda, ATR/BPN, konsultan dan lain-lain. Ini biayanya jadi mahal,” ungkapnya.
BACA INI: Menteri PKP Dapat Kabar Bagus, KPK Sita 44 Aset Properti Senilai Rp200 Miliar
Ketika mengajukan proses menuju PBG, tambah Junaidi, ada persyaratan yang harus dipenuhi MBR, diantaranya ialah pengukuran lahan dan penggambaran rencana pembangunan yang melibatkan sejumlah profesi. Akibatnya, pengurusan proses menuju PBG menjadi mahal.
“Saya menyambut baik soal retribusi PBG dihapus, akan tetapi yang perlu dipahami proses menuju PBG itu sangat birokratif dan berbiaya besar. Penghapusan retribusi PBG bukan sesuatu yang signifikan,” tukas Junaidi.
Proses sebelum pengajuan PBG, sambung Junaidi, sangat sulit karena ketidakjelasan waktu dan tarif atau biaya pengurusan. Dalam hal ini, pengembang membutuhkan swaktu lsngat lama dan biaya yang dikeluarkan sangat besar.
“Proses menuju PBG itu yang sulit, butuh waktu panjang dan biaya besar yang tidak ada standarisasinya,” imbuhnya.
Pungli Proses PBG
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (HIMPERRA) Ari Tri Priyono menyatakan hal yang sama yaitu biaya pengurusan proses pengajuan menuju PBG sangat besar.
“Kalau hari ini harga urus PBG Rp5 sampai Rp10 juta. Padahal, harga aslinya hanya beberapa ratus ribu, tapi karena harus memakai jasa konsultan dan lain-lain, maka harganya jadi mahal,” tukas Ari sambil menambahkan, adanya pungutan liar alias pungli juga membuat biaya proses pengurusan menuju PBG jadi semakin mahal.
BACA INI: Ngomong Ekosistem Perizinan, Begini Komentar Ketua REI Buat Menteri Perumahan Maruarar Sirait
“Yang bikin mahal itu biaya punglinya. Apalagi ada kerjasama atau kongkalikong antara konsultan dengan Pemda atau oknum-oknum yang terkait izin pembangunan,” pungkasnya.
Salah satu contoh pungli dalam proses pengurusan menuju PBG, menurut Ari adalah adanya oknum yang mengaku bisa mempercepat proses pengurusan menuju PBG dengan konsultan, dari biaya awalnya hanya Rp3 juta, kemudian naik menjadi Rp5 juta, agar pengurusan proses menuju PBG cepat selesai.
Perbedaan IMB dan PBG
Seperti diketahui, salah satu dasar hukum IMB adalah UU Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan, jika setiap bangunan atau gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

Sedangkan PBG diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2021. PBG adalah perizinan yang dikeluarkan pemerintah untuk pemilik bangunan atau gedung. PBG berlaku untuk memulai pembangunan, merenovasi, merawat, atau mengubah bangunan gedung sesuai dengan yang direncanakan.
Perbedaan IMB dan PBG terletak pada hal yang harus dilaporkan, syarat yang diberikan, dan sanksi. Adapun syarat yang ada dalam IMB diantaranya, pemilik bangunan harus menyediakan surat pengakuan status hak atas tanah, izin pemanfaatan, status kepemilikan bangunan, hingga izin mendirikan bangunan.
Sedangkan PBG yang hanya mensyaratkan perlunya perencanaan dan perancangan bangunan sesuai tata bangunan, keandalan, dan desain prototipe. Dalam IMB tidak ada sanksi yang berlaku jika pemilik bangunan tidak melaporkan perubahan fungsi bangunan, tetapi dalam PBG ada sanksi.
Simak dan ikuti terus perkembangan berita dan informasi seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.