Tingginya permintaan rumah yang melebihi ketersediaan pasokan, telah muncul sejak tahun 1990 lalu di beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Akibatnya, Jumlah orang yang tinggal di permukiman kumuh semakin meningkat.
Oleh: Gusti Maheswara
Pada tahun 2050 mendatang, pertumbuhan populasi urban dunia diprediksi bertambah sekitar 2,25 miliar. Bonus demografi ini harus diantisipasi oleh berbagai negara termasuk Indonesia, dalam upaya memotong munculnya permukiman kumuh yang berpotensi akan tumbuh subur di negara-negara berkembang.
Dalam laporan World Resources Report (WRR) yang dikeluarkan World Resources Institute Indonesia (WRI) beberapa waktu lalu, bertema ‘Menuju Kota yang Lebih Setara’, nampak terlihat jelas bahwa sektor pertumbuhan ekonomi dan lingkungan hidup akan menjadi lebih baik, bila kebutuhan rumah masyarakat dapat terpenuhi.
Tingginya permintaan rumah yang melebihi ketersediaan pasokan, telah muncul Sejak 1990 lalu di beberapa negara termasuk Indonesia. Akibatnya, Jumlah orang yang tinggal di permukiman kumuh semakin meningkat.
Solus ideal untuk memperbaiki wilayah kumuh adalah dengan mempertahankan hubungan antara jaringan sosial dan akses penghidupan. Cara ini merupakan pilihan terbaik, bagi sejumlah kota yang memiliki permukiman kumuh dalam skala besar.
PENTING DIBACA: Kendala Sistemik Perumahan Rakyat Menuju Indonesia Emas 2045
Salah satu contohnya adalah program Baan Mankong di negara Thailand, yang mengalirkan subsidi infrastruktur pemerintah, serta pinjaman tanah dan kredit rumah lunak untuk masyarakat miskin.
Selama ini, kebijakan kepemilikan rumah yang dikeluarkan pemerintah hampir selalu ditekankan untuk pembangunan perkotaan baru. Hal ini jelas merugikan bagi mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli rumah. Kebijakan ini tentu sangat merugikan orang-orang yang bekerja di sektor ekonomi informal.

Di Indonesia, program kepemilikan rumah subsidi yang dilakukan pemerintah, terbatas hanya bagi mereka yang memiliki pendapatan regular, bukan untuk mereka yang bekerja di sektor informal. Akibatnya, muncullah backlog hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan golongan rakyat miskin.
Revisi Regulasi Perumahan
Untuk mengatasi backlog rumah dan permukiman kumuh, salah satu solusinya ialah melakukan penyewaaan lahan. Contohnya Provinsi Gauteng, di Afrika Selatan yang berhasil mengatasi masalah kekurangan 687.000 unit rumah dengan melegalkan penyewaan hunian untuk pembangunan apartemen bersubsidi.
Di beberapa kota di dunia, termasuk Indonesia, tanah selalu tersangkut dengan berbagai sengketa hukum, sehingga tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan, meskipun semakin banyak penduduk yang mencari tempat tinggal atau rumah.
Pemerintah kota dan pengembang perumahan, sudah seharusnya berani melakukan revisi regulasi, terkait perumahan rakyat dan standar bangunan yang layak huni, dalam upaya memperluas ketersediaan perumahan terhadap lahan yang belum dimanfaatkan.
PENTING DIBACA: Menelusuri ‘Lingkaran Setan’ Sektor Properti Nasional
Revisi regulasi perumahan merupakan salah satu cara ideal yang akan membantu pemerintah dan pengembang perumahan untuk memenuhi kebutuhan rumah rakyat, sekaligus mendorong pembangunan ekonomi dan lingkungan yang lebih bersih, sehat, aman dan nyaman.
Memutus kesenjangan pemukiman kumuh dengan menyediakan akses perumahan dengan harga terjangkau dan layak huni, tentu akan bermanfaat bagi semua pihak, tidak hanya terbatas kepada Masyarakat Berpenghasilan rendah (MBR) dan kelompok rakyat miskin, karena keberadaan perumahan akan mendorong masyarakat menjadi lebih produktif dan berkelanjutan.
Penulis Pengamat Properti / Sumber Referensi: World Resources Report WRI
Simak dan ikuti terus perkembangan berita dan informasi seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.