Jangan sampai anak cucu rakyat Indonesia tinggal di lahan-lahan yang dikuasai konglomerat. Mereka harus tinggal di tanah milik mereka sendiri melalui reforma agraria.
KoranProperti.com (Bandung) – Dalam media gathering di Bandung, Jawa Barat, Jumat (17/1/2025) lalu, Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmadja mengungkapkan, sebanyak 59 persen lahan di Indonesia dikuasai oleh satu persen penduduk yang biasa disebut orang ultra kaya atau konglomerat.
Seperti diketahui, sejak zaman orde baru hingga masa reformasi, persoalan penggunaan dan kepemilikan hak atas lahan/tanah, pulau, laut, serta hutan terus menghadapi masalah pelik. Berbagai kebijakan, terkait penggunaan dan kepemilikan hak atas tanah/lahan, laut, hutan dan pulau yang dikeluarkan pemerintah, tidak memberikan solusi terbaik bagi rakyat.
Kecenderungan yang terjadi saat ini, justru para konglomerat menjadi tuan tanah. Korban akibat kepemilikan hak atas tanah oleh segelintir orang kaya ini adalah rakyat. Rakyat tidak bisa memiliki rumah di lahan negara. Bahkan, untuk membeli rumah yang dibangun pengembang milik konglomerat, maupun pengembang rumah subsidi, rakyat sudah tidak mampu lagi, karena harganya tidak terjangkau.
Maka tak heran, ketika backlog rumah terus stagnan, bahkan bertambah dari tahun ke tahun, perkampungan kumuh semakin melebar sampai ke pinggiran kota, serta adanya mafia tanah yang berpotensi merebut lahan negara maupun rakyat dengan menggunakan cara-cara premanisme.
Untuk mengatasi hal ini, negara tidak boleh diam. Sejatinya rakyat adalah pemilik kedaulatan negara. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diatur tentang penguasaan dan penggunaan sumber daya alam, termasuk bumi, air, dan kekayaan alam. Pasal ini menyatakan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.

Pemerintah wajib menguasai dan mengelola lahan dan sumber daya alam negara untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah kepada kepentingan masyarakat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan (periode 14 Oktober 2016 sampai 20 Oktober 2019) dalam sebuah acara Economic Challenges, Selasa (2/4/2019) lalu, pernah mengatakan secara tegas bahwa ada bagian dari bangsa Indonesia yang kurang beruntung, seperti untuk memasang sambungan listrik sebesar Rp550.000 saja rakyat tidak mampu.
Konglomerat Penguasa Lahan Indonesia
Berkaitan dengan pernyataan Jonan, lebih jauh lagi, Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmadja mengemukakan, satu persen dari orang Indonesia menguasai hampir 59 persen tanah di Indonesia, di luar kawasan hutan.
Oleh karena itu, tegas Parman, dia tidak ingin anak cucu rakyat Indonesia tinggal di lahan-lahan milik konglomerat. Mereka harus tinggal di tanah mereka sendiri melalui reforma agraria.
“Inilah yang menjadi dasar pemerintah membentuk Badan Bank Tanah sebagai Badan Hukum Indonesia yang bersifat sui generis untuk menyediakan dan mengelola tanah negara untuk kepentingan rakyat,” pungkas Parman.
Selanjutnya Parman memaparkan, Badan Bank Tanah wajib mengalokasikan 30 persen penggunaan sumber daya agraria untuk kepentingan rakyat.
Tahun 2025 ini, tambah Parman, aset lahan Badan Bank Tanah diperoleh dari tanah telantar, tanah bekas hak, tanah bekas tambang, tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang, tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya, hingga tanah pelepasan hutan. Di tahun 2025, Badan Bank Tanah membidik penambahan aset lahan seluas 140.000 hektare.
Sampai akhir tahun 2024 lalu, total aset lahan Badan Bank Tanah sudah mencapai 33.115,6 hektare yang tersebar di 45 kabupaten/kota.
“Aset dalam bentuk lahan atau tanah ini, akan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat dan pembangunan nasional melalui kerja sama dengan berbagai pihak, dalam bentuk jual beli, sewa, hibah, serta tukar menukar lahan,” tutup Parman.
Simak dan ikuti terus perkembangan berita dan informasi seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.