Kementerian Keuangan perlu memberi dukungan dengan menyiapkan pendanaan yang memadai, terutama untuk skema Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) subsidi.
KoranProperti.com (Jakarta) – Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menegaskan, minimnya anggaran Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang hanya dialokasikan sebesar Rp5,07 triliun, menjadi tantangan terbesar dalam mendukung program 3 juta rumah yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
“Alokasi anggaran ini sangat kecil, dan bisa berpotensi menjadi hambatan utama dalam merealisasikan program 3 juta rumah rakyat,” kata Bambang.
Namun, menurut Bambang, walaupun anggaran Kementerian PKP sangat kecil, dia tetap optimis prospek pasar properti pada tahun 2025 mendatang, bagi sektor hunian rakyat tetap bisa berjalan.
“Program 3 juta rumah ini, sebenarnya sangat menjanjikan, terutama karena adanya rencana peningkatan kuota rumah subsidi melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga 800 ribu unit di tahun 2025 mendatang,” ujarnya.
Selain itu, diperpanjangnya insentif PPN Ditanggung Pemerintah (PPNDTP), juga akan membuat prospek perumahan rakyat semakin positif.
Oleh karena itu, tambah Bambang, Kementerian Keuangan perlu memberi dukungan dengan menyiapkan pendanaan yang memadai, terutama untuk skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi.
BACA INI: Tahun 2025 ‘Kiamat’ Bagi Sektor Properti Nasional, PPN Naik dari 11 Menjadi 12 Persen
Selain tantangan anggaran, papar Bambang, industri properti juga terkena imbas kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang mulai berlaku tahun 2025. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang membuat daya beli masyarakat cenderung melemah.
Peran Aktif Pemerintah
“Walaupun ada dukungan PPNDTP, tapi insentif ini hanya berlaku untuk rumah ready stock, sehingga sebagian besar konsumen non-subsidi tetap terkena PPN 12 persen,” ujar Bambang.
Untuk itu REI berharap, lanjut Bambang, peran aktif pemerintah sangat dibutuhkan dalam menjaga pertumbuhan industri properti, baik melalui insentif fiskal maupun dukungan kebijakan yang mendukung keberlanjutan sektor perumahan.

“Pemerintah harus memberikan dukungan, baik dari sisi pendanaan maupun kebijakan, agar pertumbuhan industri properti nasional tetap berjalan dalam tren positif,” pungkas Bambang.
Kelompok yang paling merasakan dampak buruk dari kenaikan PPN 12 persen ini adalah kelas menengah. Mereka akan terjepit dengan berbagai kebutuhan pokok yang juga mengalami kenaikan.
Kemungkinan besar, kelas menengah akan menunda atau gagal dalam membeli rumah. Sedangkan untuk pengembang kelas menengah, mereka akan tersandera oleh masalah kapital. Akibatnya investasi properti akan mengalami perlambatan dan mungkin juga pembatalan.
Sedangkan bagi masyarakat kelas atas, kenaikan PPN 12 persen tidak berpengaruh secara signifikan. Kelompok kelas atas hanya akan ‘menunggu’ kebijakan baru, terkait sektor properti dari pemerintah pada tahun 2025.
Sementara itu, pengamat properti yang juga Direktur Investasi Global Asset Management Steve Sudijanto menegaskan, kenaikan PPN akan berdampak buruk bagi harga rumah, karena meningkatnya biaya konstruksi.
“Material bangunan seperti besi, semen, beton, cat, rangka aluminum, kabel, fitting listrik, keramik, genteng, dipastikan semuanya akan mengalami kenaikan dan harga rumah juga dipastikan ikut naik,” tukasnya.
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, kenaikan PPN 12 persen, akan mengakibatkan daya beli masyarakat menurun tajam. Dampak buruk PPN 12 persen akan menimpa kelas menengah yang jumlahnya diperkirakan mencapai 35 persen.

Terkait PPNDTP, Ekonom Center of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet menilai, insentif PPN DTP 100 maupun 50 persen di sektor perumahan yang ditanggung dana APBN, sangat tidak signifikan dalam menggenjot kinerja industri properti nasional, karena hal itu merupakan pemborosan anggaran negara.
“Insentif pajak saja tidak cukup untuk mendorong permintaan properti secara substansial. Faktor-faktor fundamental seperti daya beli masyarakat, suku bunga KPR, dan kepastian hukum masih menjadi determinan utama dalam keputusan pembelian properti,” tegas Yusuf dalam siaran pers yang diterima koranproperti.com, Selasa (12/11/2024).
Simak dan ikuti terus perkembangan berita dan informasi seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.