Faktor yang membuat masyarakat batal membeli rumah karena sering kali permasalahannya ada di KPR yaitu jenis floating rate-nya mengikuti suku bunga Bank Indonesia (BI).
KoranProperti.com (Jakarta) – Terkurasnya finansial untuk memenuhi berbagai kebutuhan lebaran 2025, juga turut menjadi penyebab batalnya kelas menengah dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) membeli rumah subsidi.
Director Head of Research JLL Indonesia Muhammad Yunus Karim mengatakan, terjadinya peningkatan aktivitas properti ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya kondisi ekonomi makro, kebijakan terkait properti, dan daya beli masyarakat.
Jika kondisi ekonomi sehat dan kebijakan pemerintah mendukung, maka daya beli masyarakat tetap terjaga, sehingga dapat mendorong peningkatan aktivitas sektor properti.
Menurut Yunus, adanya program diskon rumah dan promo setelah lebaran 2025 lalu, biasanya menjadi strategi pengembang untuk meningkatkan penjualan.
“Ini merupakan strategi untuk menarik minat pembeli potensial,” ujar Yunus dalam siaran pers, Sabtu (5/4/2025).
Yunus melihat pembelian rumah masih didominasi pembeli end user. Setelah lebaran 2025, umumnya para pembeli potensial sudah memiliki niat untuk mencari dan memilih hunian yang sesuai, baik secara produk, lokasi serta finansialnya.
BACA INI: Jatah Rumah Subsidi Wartawan 1.000 Unit, Pengalokasian Gunakan Data BPS
“Tren pemburuan properti pasca lebaran tidak mempengaruhi harga pasar jangka panjang,” ujar Yunus.
Yunus berharap kepada para calon pembeli rumah, agar tidak hanya melihat besaran diskon, tetapi yang perlu diperhatikan adalah kualitas properti, reputasi pengembang, lokasi dan prospek pengembangan area, legalitas serta kelengkapan dokumen, dan harga pasar yang wajar.
Kondisi Finansial Masyarakat
“Konsumen jangan terburu-buru melihat tawaran diskon yang menarik. Lakukan survei dahulu dan pertimbangkan kesesuaian dengan kondisi finansial,” tutur Yunus.
Di tempat terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memprediksi pembelian rumah tapak setelah Lebaran 2025 tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan alias masih negatif.
Menurutnya, daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah masih lesu, sehingga mempengaruhi sektor properti nasional.

Ini disebabkan karena banyaknya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan gerakan menghemat THR.
Bhima melihat, ada juga masyarakat yang sudah merencanakan pembelian rumah lewat skema KPR, karena adanya diskon besar-besaran yang ditawarkan developer.
Bhima menuturkan, salah satu faktor yang membuat masyarakat batal membeli rumah karena permasalahannya ada di KPR yaitu floating rate-nya mengikuti suku bunga Bank Indonesia (BI).
“Jadi yang dilihat masyarakat adalah suku bunga bank. Nah suku bunga itu punya andil 14,3 persen. Inilah faktor yang menghambat penjualan properti,” ujar Bhima.
“Banyak konsumen yang merasa suku bunga floating-nya tinggi sekali, jadi fixed rate-nya bisa 7 persen. Misalnya 1-2 tahun, tapi tahun ketiga begitu suku bunganya menjadi floating rate yaitu akan jadi 15 persen,” tambahnya.
Pada kuartal IV 2024 lalu, penjualan properti residensial mencatat kontraksi pertumbuhan sebesar 15,09 persen year on year (yoy). Angka ini lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada kuartal sebelumnya sebesar 7,14 persen (yoy).
Perkembangan tersebut didorong penurunan penjualan rumah tipe kecil dan menengah yang masing-masing tercatat kontraksi 23,70 persen (yoy) dan 16,6 persen (yoy). Sementara penjualan rumah tipe besar tumbuh 20,44 persen (yoy) pada kuartal IV 2024.
Selain itu, pertumbuhan penjualan rumah primer pada kuartal IV 2024 juga terkontraksi pada rumah tipe kecil dan menengah masing-masing 11,94 persen quartal to quartal (qtq) dan 9,13 persen qtq. Sementara penjualan rumah tipe besar naik 14,12 persen qtq.
BACA INI: Tanah Rakyat Diserobot, Menteri Nusron Pecat 16 Oknum Pejabat BPN Mafia Tanah
Seperti diketahui, Pemerintah juga telah memberikan insentif pajak untuk sektor perumahan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025. Kebijakan ini mengatur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditanggung pemerintah (DTP) atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun selama tahun anggaran 2025. Langkah ini diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
PMK 13/2025 memungkinkan pembeli rumah tapak atau apartemen dengan harga jual maksimal Rp5 miliar untuk mendapatkan insentif PPN. Untuk transaksi hingga Juni 2025, insentif yang diberikan mencapai 100 persen dari PPN terutang untuk bagian harga sampai Rp2 miliar. Setelah Juli 2025, insentifnya berkurang menjadi 50 persen. Insentif ini berpotensi meningkatkan penjualan rumah, khususnya di segmen menengah.
Data sebelumnya menunjukkan bahwa insentif PPN ternyata berhasil mendorong transaksi properti, meskipun dampaknya tidak merata.
Secara langsung, kebijakan ini menguntungkan pengembang dan calon pembeli. Developer mendapat insentif untuk menyelesaikan proyek tepat waktu, agar rumah bisa diserahterimakan dalam periode insentif. Sedangkan konsumen bisa membeli rumah dengan beban pajak lebih ringan.
Namun, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, yaitu pertama, skema ini hanya berlaku untuk rumah baru, sehingga pasar rumah bekas tidak mendapatkan dampak langsung. Kedua, ada risiko peningkatan harga rumah akibat kenaikan permintaan jangka pendek. Jika harga naik signifikan, manfaat insentif ini bisa tergerus.
Selain itu, kebijakan ini berpotensi menciptakan efek “kejar target” dalam periode insentif, yang bisa berujung pada over-supply di sektor properti. Jika daya beli masyarakat tidak benar-benar pulih pasca-insentif, pasar bisa mengalami perlambatan kembali.
Simak dan ikuti terus perkembangan berita dan informasi seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.