Sejauh ini, program pengadaan rumah tapak subsidi sederhana yang digembar-gemborkan Pemerintah dari tahun ke tahun, harganya masih terbilang tinggi dan sulit dijangkau MBR dan rakyat miskin, karena penghasilan mereka tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga rumah.
Oleh: Gusti Maheswara
Ambisi besar Menteri Perumahaan dan Kawasan Permukiman (PKP) Kabinet Merah Putih Maruarar Sirait memberikan rumah layak huni bagi rakyat yang membutuhkan secara gratis, patut mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Namun, ambisi Maruarar masih sebatas wacana yang ‘meledak-ledak’ di media massa.
Kabinet Merah Putih dibawah komando Presiden Prabowo Subianto, menaruh harapan besar menjadikan negara Indonesia bebas dari kemiskinan dan korupsi, dengan tujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat, termasuk diantaranya penyediaan rumah bagi rakyat.
Namun faktanya, rumitnya kenyataan di lapangan belum tentu bisa memenuhi harapan yang diinginkan Pemerintah. Terlalu banyak komponen yang terlibat dan berbaur, sehingga setiap ada permasalahan sulit untuk mendapatkan solusi terbaik. Bahkan, justru mendapatkan resistensi tinggi dari berbagai kalangan sosial.
BACA INI: Maruarar Sirait Bukan ‘Ratu Adil’, Mengurai Krisis Kronis Perumahan Rakyat
Pesatnya pertumbuhan penduduk di pedesaan, perkotaan serta tingginya arus urbanisasi menyebabkan semakin tingginya tingkat kebutuhan hunian bagi rakyat. Namun, keterbatasan dan mahalnya harga lahan, menjadi tantangan paling kritis, dalam upaya memenuhi hunian yang layak dan terjangkau bagi rakyat.
Tingginya jumlah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Indonesia, disertai dengan adanya ketidakseimbangan antara supply dan demand, menyebabkan harga lahan melangit. Selain itu, kebutuhan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan golongan rakyat miskin yang ingin tinggal dekat dengan tempat mereka bekerja, menyebabkan munculnya hunian tidak layak huni. Sebagian dari mereka menempati permukiman kumuh atau ilegal dalam bedeng yang terbuat dari seng atau triplek.
Kondisi Perkembangan Global
Kondisi perkembangan global juga ikut mempengaruhi urbanisasi, sehingga diperkirakan pada tahun 2045, sebanyak 72,8 persen (sumber data https://itb.ac.id/) penduduk akan tinggal di perkotaan. Hal inilah yang mungkin diantisipasi Menteri PKP, agar pembangunan perumahan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di masa depan.
Sejauh ini, program pengadaan rumah tapak subsidi yang digembar-gemborkan Pemerintah dari tahun ke tahun, harganya masih terbilang tinggi dan sulit dijangkau MBR dan rakyat miskin, karena penghasilan mereka tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga rumah. Kalaupun ada harga rumah tapak subsidi yang terjangkau, namun letaknya jauh dari pusat kota dan dari tempat mereka bekerja. Ini menjadi masalah klasik yang sulit dicari solusinya.
Kawasan kota kosmopolitin, seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia semakin berkembang dalam sisi bisnis, bukan dari sisi hunian, inilah yang menjadi salah satu faktor ketersediaan rumah tapak subsidi semakin jauh dari pusat kota. Sedangkan, kebutuhan hunian yang tinggi justru berada di pusat kota. Ketidaksinambungan antara kebutuhan dan suplai ini, akhirnya menciptakan kawasan kumuh di pusat kota.
BACA INI: Titik Temu Kesenjangan Ekonomi dan Kebutuhan Rumah Rakyat Tahun 2050
Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus Kementerian PKP untuk mengatasi masalah tingkat keterjangkauan perumahan (housing affordability) bagi masyarakat. Housing affordability merupakan kemampuan untuk menjangkau hunian, baik dalam bentuk kepemilikan rumah atau apartemen maupun sewa rumah atau apartemen.
Public housing merupakan salah satu jawaban untuk mengatasi masalah urbanisasi dan masalah perumahan di perkotaan. Contohnya seperti di negara Singapura. Pemerintah Singapura menyediakan public housing yang dibangun oleh HDB (Housing Development Board) dengan tipe apartemen tinggi dan berstandar minimal supaya dapat dijangkau 80 persen penduduknya. Public housing ini disubsidi pemerintah, tetapi terdapat mekanisme pengendalian yang ketat untuk menghindari salah sasaran, pembangunan pada lokasi yang kurang baik, serta pengelolaan manajemen apartemen yang buruk.
Contoh Perumahan Rakyat Singapura
Penelitian SCAPPE (Singapore Centre for Applied and Policy Economics) di tahun 2016 lalu, menunjukkan bahwa rasio keterjangkauan public housing di Singapura menunjukkan angka yang kecil, yaitu di bawah 0.3. Hal ini berkebalikan apabila dibandingkan dengan rasio keterjangkauan private housing yang justru banyak terdapat di atas 0.3.
Dahulu, Singapura seperti Jakarta, masih banyak pemukiman kumuhnya. Akan tetapi dengan perkembangan program public housing yang progresif, sekarang ini di Singapura sudah zero kumuh (city without slums).
Affordable housing bukan lagi menjadi masalah bagi Singapura karena perumahan rakyat memainkan peran penting dalam mewujudkan masyarakat yang modern dan sejahtera serta pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Public housing di Singapura bukan hanya membangun fisik hunian, tetapi juga membangun karakter sosial masyarakatnya.
BACA INI: Menelusuri ‘Lingkaran Setan’ Sektor Properti Nasional
Public housing di Indonesia tidak bisa ditunda lagi dan harus diterapkan secara konsekuen. Urbanisasi yang cepat dan tumbuhnya kota-kota metropolitan baru, akan berpotensi memunculkan kawasan kumuh dan rumah illegal.
Berdasarkan data BPS di 2023, tercatat sebanyak 9,9 Juta rumah tangga belum memiliki rumah. Angka ini berpotensi terus meningkat. Selain itu, adanya pertumbuhan rumah tangga baru yang diperkirakan mencapai 700-800 ribu kepala keluarga setiap tahunnya.
Rumah tangga yang belum menghuni rumah layak secara nasional adalah 36,85 persen atau 26,92 juta rumah tangga Indonesia belum menempati rumah layak di tahun 2023 lalu. Saat ini di tahun 2024, sekitar 70 persen rumah tangga belum menghuni rumah layak huni.
Penulis Pengamat Properti
Simak dan ikuti terus perkembangan berita dan informasi seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.
Hotline Redaksi 0812 8934 9614